Di ujung barat Nusantara, di tanah yang
disebut Aceh Darussalam, berkobar perlawanan rakyat yang panjang dan penuh
pengorbanan melawan kolonialisme Belanda. Di antara tokoh-tokoh perjuangan yang
muncul dari daerah itu, nama Cut Nyak Dien menjulang sebagai simbol keberanian,
keteguhan, dan cinta tanah air. Ia bukan hanya seorang istri pejuang, tetapi
juga pemimpin gerilya yang disegani kawan dan ditakuti lawan.
Kisah perjuangan Cut Nyak Dien bermula ketika
Belanda melancarkan invasi ke Aceh pada tahun 1873. Perang Aceh pun
meletus dan berlangsung lebih dari 30 tahun, menjadikannya salah satu perang
kolonial terpanjang dalam sejarah Hindia Belanda. Di tengah berkecamuknya
pertempuran, banyak keluarga bangsawan Aceh terlibat langsung, termasuk
keluarga Cut Nyak Dien.
Cut Nyak Dien berasal dari keluarga ulèë
balang (bangsawan) di wilayah VI Mukim, sebuah daerah penting di Aceh Besar.
Sejak kecil, ia sudah dikenal cerdas, fasih dalam ilmu agama, dan terampil
dalam berbagai keterampilan perempuan bangsawan. Ia tumbuh dalam lingkungan
keluarga yang memegang teguh ajaran Islam dan semangat perlawanan terhadap
kafir penjajah.
“Ketika Perang Aceh meletus, suami pertamanya,
Teuku Ibrahim Lamnga, turut bertempur melawan Belanda. Namun, ia gugur dalam
pertempuran di Gle Tarum tahun 1878,” tulis M. Junus Djamil dalam Riwayat Hidup
Cut Nyak Dien.
Kehilangan suami tak membuat Cut Nyak Dien
patah semangat. Ia justru bertekad meneruskan perjuangan. Ia kemudian menikah
dengan Teuku Umar, seorang panglima perang Aceh yang dikenal cerdik dan
memiliki strategi tempur luar biasa. Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien memimpin
perlawanan terhadap Belanda di berbagai wilayah, dari Meulaboh hingga Lamno.
Namun, strategi Teuku Umar pada 1893 sempat
membuat rakyat Aceh kebingungan. Ia “menyerahkan diri” kepada Belanda dan
berpura-pura tunduk untuk memperoleh persenjataan dan kekuatan. Tindakan ini
semula ditentang oleh Cut Nyak Dien, tapi ia akhirnya memahami bahwa ini adalah
bagian dari taktik.
“Teuku Umar kemudian berbalik menyerang
Belanda dengan persenjataan yang diperoleh selama ‘bersekutu’,” tulis Anthony
Reid dalam The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule
in Northern Sumatra.
Namun masa kejayaan mereka tak berlangsung
lama. Pada tahun 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh akibat
serangan mendadak Belanda. Kematian suaminya kembali memukul Cut Nyak Dien,
tetapi sekali lagi ia tidak menyerah. Justru setelah kematian Teuku Umar, ia
mengambil alih komando pasukan dan terus bergerilya di pedalaman Aceh Barat.
“Cut Nyak Dien dikenal sangat tegas dan
berani. Ia tetap memimpin walau usianya sudah lanjut dan penglihatannya mulai
kabur akibat penyakit rabun,” kata Agus M. Irwanto dalam Cut Nyak Dien dan
Semangat Juang Perempuan Nusantara.
Selama bertahun-tahun, ia hidup
berpindah-pindah di hutan, tetap membakar semangat perlawanan meski dalam
kondisi makin sulit. Namun penderitaan dan kekurangan fisik membuat anak
buahnya khawatir. Salah satu pengikut setianya, Pang Laot, akhirnya menyerahkan
Cut Nyak Dien kepada Belanda demi menyelamatkan nyawanya.
Pada 1901, pasukan Belanda menangkap Cut Nyak
Dien di daerah Beutong Le Sageu, Aceh Barat. Penangkapannya menandai
berakhirnya salah satu perlawanan gerilya terbesar yang dipimpin oleh seorang
perempuan dalam sejarah kolonial Indonesia.
Namun Belanda tak berani menempatkannya di
Aceh. Mereka khawatir sosoknya masih mampu membakar semangat rakyat. Maka, Cut
Nyak Dien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Di sana, ia hidup dalam
pengawasan dan menggunakan nama samaran. Namun meskipun dalam keterasingan, ia
tetap disegani masyarakat sekitar karena ilmu agamanya yang tinggi.
Cut Nyak Dien wafat di pengasingan pada tahun
1908. Ia dimakamkan secara sederhana di kompleks pemakaman pahlawan Sumedang.
Baru pada tahun 1960-an, makamnya ditemukan kembali dan diakui sebagai bagian
dari sejarah nasional.
Cut Nyak Dien bukan hanya simbol perlawanan
rakyat Aceh, tapi juga ikon perjuangan perempuan Indonesia. Namanya kini
diabadikan sebagai nama jalan, sekolah, hingga pelabuhan. Pada 1964, pemerintah
Indonesia secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
Perjuangan Cut Nyak Dien menunjukkan bahwa
perempuan pun memiliki peran besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Ia tak
hanya berdiri di belakang suaminya, tetapi juga memimpin di garis depan, dengan
keberanian dan cinta tanah air yang tak tergoyahkan.
“Semangat Cut Nyak Dien tetap hidup hingga
kini. Ia adalah bukti bahwa semangat perjuangan tak mengenal jenis kelamin,
usia, ataupun kelemahan fisik,” ujar sejarawan Aceh, Husaini Ibrahim. Kisahnya
akan terus dikenang, sebagai bara yang menyala dari Tanah Rencong tempat
perempuan pernah berdiri sebagai pemimpin perang, penggerak rakyat, dan penjaga
kehormatan bangsanya.