Minggu, 15 Juni 2025

(ARTIKEL) Perempuan Perlawanan dari Tanah Rencong: Kisah Cut Nyak Dien Melawan Belanda

 

Di ujung barat Nusantara, di tanah yang disebut Aceh Darussalam, berkobar perlawanan rakyat yang panjang dan penuh pengorbanan melawan kolonialisme Belanda. Di antara tokoh-tokoh perjuangan yang muncul dari daerah itu, nama Cut Nyak Dien menjulang sebagai simbol keberanian, keteguhan, dan cinta tanah air. Ia bukan hanya seorang istri pejuang, tetapi juga pemimpin gerilya yang disegani kawan dan ditakuti lawan.

Kisah perjuangan Cut Nyak Dien bermula ketika Belanda melancarkan invasi ke Aceh pada tahun 1873. Perang Aceh pun meletus dan berlangsung lebih dari 30 tahun, menjadikannya salah satu perang kolonial terpanjang dalam sejarah Hindia Belanda. Di tengah berkecamuknya pertempuran, banyak keluarga bangsawan Aceh terlibat langsung, termasuk keluarga Cut Nyak Dien.

Cut Nyak Dien berasal dari keluarga ulèë balang (bangsawan) di wilayah VI Mukim, sebuah daerah penting di Aceh Besar. Sejak kecil, ia sudah dikenal cerdas, fasih dalam ilmu agama, dan terampil dalam berbagai keterampilan perempuan bangsawan. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang memegang teguh ajaran Islam dan semangat perlawanan terhadap kafir penjajah.

“Ketika Perang Aceh meletus, suami pertamanya, Teuku Ibrahim Lamnga, turut bertempur melawan Belanda. Namun, ia gugur dalam pertempuran di Gle Tarum tahun 1878,” tulis M. Junus Djamil dalam Riwayat Hidup Cut Nyak Dien.

Kehilangan suami tak membuat Cut Nyak Dien patah semangat. Ia justru bertekad meneruskan perjuangan. Ia kemudian menikah dengan Teuku Umar, seorang panglima perang Aceh yang dikenal cerdik dan memiliki strategi tempur luar biasa. Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan terhadap Belanda di berbagai wilayah, dari Meulaboh hingga Lamno.

Namun, strategi Teuku Umar pada 1893 sempat membuat rakyat Aceh kebingungan. Ia “menyerahkan diri” kepada Belanda dan berpura-pura tunduk untuk memperoleh persenjataan dan kekuatan. Tindakan ini semula ditentang oleh Cut Nyak Dien, tapi ia akhirnya memahami bahwa ini adalah bagian dari taktik.

“Teuku Umar kemudian berbalik menyerang Belanda dengan persenjataan yang diperoleh selama ‘bersekutu’,” tulis Anthony Reid dalam The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra.

Namun masa kejayaan mereka tak berlangsung lama. Pada tahun 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh akibat serangan mendadak Belanda. Kematian suaminya kembali memukul Cut Nyak Dien, tetapi sekali lagi ia tidak menyerah. Justru setelah kematian Teuku Umar, ia mengambil alih komando pasukan dan terus bergerilya di pedalaman Aceh Barat.

“Cut Nyak Dien dikenal sangat tegas dan berani. Ia tetap memimpin walau usianya sudah lanjut dan penglihatannya mulai kabur akibat penyakit rabun,” kata Agus M. Irwanto dalam Cut Nyak Dien dan Semangat Juang Perempuan Nusantara.

Selama bertahun-tahun, ia hidup berpindah-pindah di hutan, tetap membakar semangat perlawanan meski dalam kondisi makin sulit. Namun penderitaan dan kekurangan fisik membuat anak buahnya khawatir. Salah satu pengikut setianya, Pang Laot, akhirnya menyerahkan Cut Nyak Dien kepada Belanda demi menyelamatkan nyawanya.

Pada 1901, pasukan Belanda menangkap Cut Nyak Dien di daerah Beutong Le Sageu, Aceh Barat. Penangkapannya menandai berakhirnya salah satu perlawanan gerilya terbesar yang dipimpin oleh seorang perempuan dalam sejarah kolonial Indonesia.

Namun Belanda tak berani menempatkannya di Aceh. Mereka khawatir sosoknya masih mampu membakar semangat rakyat. Maka, Cut Nyak Dien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Di sana, ia hidup dalam pengawasan dan menggunakan nama samaran. Namun meskipun dalam keterasingan, ia tetap disegani masyarakat sekitar karena ilmu agamanya yang tinggi.

Cut Nyak Dien wafat di pengasingan pada tahun 1908. Ia dimakamkan secara sederhana di kompleks pemakaman pahlawan Sumedang. Baru pada tahun 1960-an, makamnya ditemukan kembali dan diakui sebagai bagian dari sejarah nasional.

Cut Nyak Dien bukan hanya simbol perlawanan rakyat Aceh, tapi juga ikon perjuangan perempuan Indonesia. Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan, sekolah, hingga pelabuhan. Pada 1964, pemerintah Indonesia secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.

Perjuangan Cut Nyak Dien menunjukkan bahwa perempuan pun memiliki peran besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Ia tak hanya berdiri di belakang suaminya, tetapi juga memimpin di garis depan, dengan keberanian dan cinta tanah air yang tak tergoyahkan.

“Semangat Cut Nyak Dien tetap hidup hingga kini. Ia adalah bukti bahwa semangat perjuangan tak mengenal jenis kelamin, usia, ataupun kelemahan fisik,” ujar sejarawan Aceh, Husaini Ibrahim. Kisahnya akan terus dikenang, sebagai bara yang menyala dari Tanah Rencong tempat perempuan pernah berdiri sebagai pemimpin perang, penggerak rakyat, dan penjaga kehormatan bangsanya.

(OPINI) Fenomena Over-sharing di Media Sosial: Ancaman Privasi di Era Digital

Media sosial kini bukan lagi sekedarsarana komunikasi, melainkan sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Siapa pun, dari anak-anak hingga orang tua, nyaris tak bisa lepas dari layar ponsel dan aktivitas membagikan cerita di dunia maya. Instagram, Facebook, TikTok, hingga Twitter menjadi panggung kehidupan virtual, tempat orang berbagi momen, pendapat, bahkan curahan hati. Namun, di balik keasyikan ini, ada satu kebiasaan yang kian meresahkan yaitu over-sharing, atau membagikan terlalu banyak informasi pribadi.

Over-sharing adalah saat seseorang secara sadar maupun tidak, mengunggah informasi pribadi secara berlebihan di media sosial. Mulai dari lokasi, kegiatan sehari-hari, kondisi kesehatan, hingga masalah keluarga atau finansial. Sekilas, ini terlihat wajar, bahkan mungkin dianggap sebagai cara untuk terhubung dengan orang lain. Tapi nyatanya, kebiasaan ini bisa menjadi bumerang yang mengancam privasi dan keamanan kita sendiri.

Budaya Pamer di Era Digital

Salah satu penyebab utama dari fenomena over-sharing adalah berkembangnya budaya ekshibisionisme digital atau pamer. Dalam budaya ini, banyak individu merasa terdorong untuk menunjukkan kehidupan mereka kepada publik, demi mendapatkan validasi sosial berupa likes, komentar, dan followers. Budaya ini tidak hanya memengaruhi cara individu mengekspresikan diri, tetapi juga mengubah cara mereka membangun identitas dan citra diri di dunia maya.

Tak jarang, demi keinginan untuk terlihat “sempurna” dan “berkualitas”, seseorang rela membagikan informasi yang sangat pribadi, seperti masalah rumah tangga, kondisi kesehatan, atau bahkan konflik dengan rekan kerja, ini membuat batas antara ruang privat dan ruang publik semakin kabur. Kita mulai terbiasa untuk membagikan segalanya, bahkan hal-hal yang seharusnya hanya diketahui oleh orang-orang terdekat. Saat seseorang memposting lokasi secara real-time, misalnya, itu bisa membuka peluang bagi tindak kejahatan. Begitu pula ketika seseorang mencurahkan masalah pribadi, bukan mendapat solusi, justru bisa jadi bahan gosip atau komentar negatif.

Risiko Nyata bagi Privasi dan Keamanan

Dalam era digital yang semakin canggih ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, banyak individu yang tidak bisa lepas dari gawai mereka untuk sekadar memeriksa notifikasi, mengunggah foto, atau membagikan status terbaru. Di tengah kemudahan dan kebebasan berekspresi yang ditawarkan oleh media sosial, muncul sebuah fenomena yang kian marak dan patut menjadi perhatian, yaitu over-sharing atau kecenderungan membagikan informasi pribadi secara berlebihan.

Over-sharing merujuk pada tindakan membagikan terlalu banyak informasi pribadi di media sosial, baik secara sadar maupun tidak sadar. Fenomena ini mencakup berbagai bentuk, seperti membagikan lokasi saat ini, foto-foto kegiatan pribadi, curahan hati yang bersifat sangat pribadi, hingga informasi finansial dan keluarga. Meskipun terkesan sepele atau bahkan dianggap sebagai bentuk kejujuran dan keterbukaan, over-sharing menyimpan potensi bahaya yang cukup serius terhadap privasi dan keamanan pengguna.

Kita mungkin berpikir, “Ah, cuma foto makan siang, masa sih berbahaya?” Tapi dari potongan-potongan kecil informasi inilah risiko bisa muncul. Para pelaku kejahatan digital atau penipu online sering memanfaatkan data yang tersedia bebas di media sosial. Informasi seperti tanggal lahir, nama ibu kandung, sekolah, atau hobi yang sering kita unggah tanpa berpikir panjang bisa digunakan untuk membobol akun pribadi, mulai dari email hingga rekening bank.

Selain itu, over-sharing bisa berdampak buruk terhadap reputasi. Banyak perusahaan saat ini memeriksa media sosial calon pegawainya. Konten yang dianggap tidak pantas, seperti ujaran kebencian, komentar rasis, atau foto yang dianggap tidak profesional, bisa menjadi pertimbangan serius dalam proses perekrutan. Bahkan, ada juga kasus di mana seseorang diberhentikan dari pekerjaannya karena unggahan yang viral dan kontroversial.

Pentingnya Melek Digital

Menghadapi kenyataan ini, menjadi melek digital atau literasi digital adalah hal yang sangat penting. Literasi digital bukan cuma soal tahu cara menggunakan aplikasi, tapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis sebelum memposting sesuatu, memahami siapa audiens kita, dan menyadari potensi risiko dari informasi yang kita bagikan.

Sayangnya, banyak pengguna terutama generasi muda yang belum memiliki kesadaran ini. Pendidikan tentang privasi digital perlu dimulai sejak dini, baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Pertanyaan sederhana seperti “Perlukah ini dibagikan?” atau “Siapa saja yang bisa melihat ini?” harus menjadi kebiasaan sebelum kita menekan tombol unggah.

Peran platform media sosial juga penting. Mereka seharusnya tidak hanya menyediakan fitur, tapi juga secara aktif memberikan edukasi kepada pengguna. Pengaturan privasi, peringatan sebelum mengunggah, serta batasan usia harus ditegakkan dan disosialisasikan dengan baik.

Peran Keluarga dan Lingkungan

Keluarga adalah benteng pertama dalam membentuk kebiasaan sehat dalam menggunakan media sosial. Orang tua perlu memberi contoh nyata tentang bagaimana menggunakan media sosial dengan bijak. Bukan hanya melarang atau mengkritik, tapi juga menjelaskan alasan di balik pentingnya menjaga privasi.

Selain itu, lingkungan atau komunitas digital juga punya peran besar. Ketika kita membentuk komunitas yang saling mengingatkan, berbagi informasi tentang keamanan digital, atau bahkan sekadar mendukung satu sama lain untuk lebih bijak di dunia maya, maka kita ikut menciptakan ruang digital yang sehat dan aman.

Berbagi dengan Bijak, Bukan Berhenti Berbagi

Perlu diingat, media sosial bukan musuh. Justru, ia bisa menjadi alat luar biasa untuk membangun relasi, berbagi inspirasi, atau menyuarakan pendapat. Namun, semua itu harus dilakukan dengan penuh pertimbangan. Kita tetap bisa berbagi, tapi dengan bijak.

Tidak semua hal harus diumbar. Ada baiknya kita menyimpan sebagian cerita hanya untuk diri sendiri atau orang-orang terdekat. Terkadang, menjaga privasi bukan berarti tertutup, melainkan bentuk perlindungan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sebelum membagikan sesuatu, tanyakan pada diri sendiri: “Apa manfaatnya bagi saya atau orang lain? Apakah ini bisa merugikan saya di masa depan? Apakah saya akan menyesal telah mengunggah ini?” Pertanyaan-pertanyaan ini akan membantu kita untuk lebih sadar dan hati-hati.

Fenomena over-sharing di media sosial adalah refleksi dari tantangan hidup di era digital. Di satu sisi, kita ingin tetap terhubung dan eksis. Tapi di sisi lain, kita juga harus sadar akan pentingnya menjaga batas-batas privasi. Upaya untuk menangkal bahaya over-sharing bukan hanya tanggung jawab individu, tapi juga keluarga, institusi pendidikan, komunitas, dan platform media sosial. Dengan meningkatkan kesadaran bersama dan membangun budaya berbagi yang sehat, kita bisa tetap menikmati manfaat media sosial tanpa harus mengorbankan keamanan dan kenyamanan diri sendiri.

Ingatlah, menjaga privasi bukan berarti menutup diri, tapi justru menunjukkan bahwa kita peduli pada diri sendiri. Di era digital ini, melindungi informasi pribadi adalah langkah kecil yang bisa membuat perbedaan besar dalam hidup kita.

(BERITA KULIAH UMUM) Membangun Koneksi Global: Kuliah Umum Bersama Diplomat Al Busyra Basnur di UNP

 



Padang, 9 Mei 2025 - Departemen Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP) sukses menyelenggarakan kuliah umum pada Jumat pagi (9/5) di Aula Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNP. Acara yang berlangsung dari jam 08.00 hingga 11.00 WIB ini menghadirkan Bapak Al Busyra Basnur, S.H., LL.M., seorang diplomat senior Indonesia, sebagai narasumber utama.

Dengan mengusung tema "Membangun Jaringan Internasional Generasi Muda", kuliah umum ini bertujuan memberikan wawasan dan motivasi kepada mahasiswa agar mampu menjalin koneksi global serta berperan aktif di kancah internasional. Dalam paparannya, Al Busyra Basnur menekankan pentingnya penguasaan bahasa asing, pemanfaatan teknologi informasi, serta keberanian generasi muda untuk tampil dan berkontribusi di forum internasional.

Beliau juga membagikan pengalaman pribadinya dalam dunia diplomasi, serta memberikan motivasi agar mahasiswa tidak ragu untuk bermimpi besar dan keluar dari zona nyaman. Menurutnya, jaringan internasional bukan hanya soal relasi, tetapi juga tentang membawa nilai-nilai dan identitas bangsa ke dunia global.

Kegiatan ini disambut antusias oleh para mahasiswa dan dosen, yang terlihat aktif dalam sesi diskusi dan tanya jawab. Kuliah umum ini juga menjadi bagian dari upaya Departemen Sejarah UNP dalam memperluas wawasan global civitas akademika, khususnya dalam menghadapi tantangan era globalisasi.


(FEATURE) Scroll Tiktok, Belajar, Panik: Potret Pejuang UTBK Gen Z

Dentuman notifikasi ponsel berbunyi pelan. Jari-jari Intan, siswi kelas 12 di Lubuk Basumg, dengan cekatan mengusap layar ponselnya ke atas, membuka aplikasi TikTok untuk sekedar "istirahat lima menit" setelah tiga jam mengerjakan latihan soal UTBK. Namun, waktu berjalan tanpa terasa. Lima menit berubah menjadi tiga puluh menit. Inilah potret keseharian para pejuang UTBK dari Generasi Z, generasi yang lahir dan besar dalam ekosistem digital.

UTBK atau Ujian Tulis Berbasis Komputer merupakan pintu gerbang utama menuju perguruan tinggi negeri yang diimpikan. Bagi Intan, UTBK bukan sekedar ujian biasa. "Ini seperti penentu masa depanku," ujarnya dengan nada serius. Namun, di balik semangat itu, dunia digital tetap tak bisa lepas dari genggaman. TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi teman setia sekaligus pelarian di tengah rutinitas belajar yang padat.

"Aku juga sering nonton video belajar di TikTk kok," ujar Intan, mencoba membela kebiasaannya sambil tertawa. Tidak bisa dipungkiri, platform digital kini berperan besar dalam dunia pendidikan. Banyak konten edukatif bermunculan, menyajikan tips menjawab soal TPS atau memahami teks bacaan hanya dalam waktu satu menit. Bagi Gen Z yang terbiasa dengan alur informasi cepat dan visual yang dinamis, ini sangat efektif.

Namun tidak semua mampu mengelola waktu dengan bijak. Syaira, siswa kelas 12 dari Bukittinggi, mengakui sering kehilangan fokus akibat terlalu lama berselancar di media sosial. "Awalnya niat cari motivasi belajar, tapi ujung-ujungnya malah nonton video kucing yang lucu-lucu," katanya sambil tersenyum kecut. Saat menyadari waktu belajar terbuang sia-sia, perasaan panik pun muncul.

Rasa cemas semakin meningkat ketika melihat teman-teman seangkatan mulai memamerkan hasil tryout atau berbagi rangkuman materi di grup WhatsApp. Informasi memang mengalir deras, tapi terkadang menambah beban mental. “Kalau teman sudah bisa ngerjain soal HOTS, sementara aku masih bingung ngerjain TPS, rasanya minder banget,” kata Fadil, siswa asal Padang, dengan nada pelan.

Meski dibayangi berbagai distraksi, semangat belajar tetap menyala. Naufal dari Pekanbaru adalah contoh siswa yang memanfaatkan teknologi secara positif. “Aku pakai aplikasi kalender digital untuk menyusun jadwal belajar, dan nonton YouTube buat memahami materi yang susah,” katanya. Baginya, teknologi bukan pengganggu, melainkan alat bantu yang sangat berguna.

Fenomena ini menampilkan wajah baru dari pejuang UTBK masa kini. Belajar tidak lagi identik dengan tumpukan buku dan coretan tangan. Kini, belajar bisa dilakukan lewat video berdurasi satu menit, podcast edukatif, atau aplikasi pembuat mind map. Beberapa siswa bahkan mulai memproduksi konten edukasi mereka sendiri.

Awalnya cuma iseng bikin video pas ngerjain soal TPS, tapi ternyata banyak yang suka dan merasa terbantu,” ujar Dinda, siswi asal Padang Panjang yang kini memiliki lebih dari 12 ribu pengikut di TikTok. Ia merasa bangga bisa belajar sambil berbagi. “Kalau bisa bantu orang lain sambil belajar, kenapa tidak?”

Tak hanya konten akademik, banyak siswa juga membuat vlog harian yang menunjukkan perjuangan mereka selama persiapan UTBK. Mulai dari rutinitas belajar, teknik mengatasi kejenuhan, hingga tips menjaga kesehatan mental. Mereka menjadikan proses belajar bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi juga bentuk ekspresi diri.

Namun, di balik cerita digital yang menarik ini, masih ada tantangan klasik yaitu keterbatasan akses. Di beberapa daerah, internet masih menjadi barang mahal. “Kadang aku harus ke warnet buat ikut tryout online,” ujar Dimas, siswa dari Pasaman barat. Meski dihadapkan pada kondisi yang tidak ideal, semangat belajarnya tak pernah surut.

Bagi sebagian siswa lain, perjuangan bukan hanya soal teknologi atau materi pelajaran, tapi juga tentang kondisi keluarga. Ada yang harus membantu orang tua bekerja sepulang sekolah, atau berbagi waktu belajar dengan menjaga adik di rumah. Situasi-situasi ini menambah dimensi baru dalam kisah perjuangan mereka.

Di balik layar ponsel yang terus menyala itu, tersembunyi cerita tentang harapan, kecemasan, dan tekad. UTBK bagi Generasi Z tidak hanya soal menjawab pilihan ganda, tatapi juga tentang mengelola waktu, mengendalikan distraksi, dan membangun mental yang kuat. Mereka belajar menghadapi tantangan zaman dengan cara mereka sendiri, entah melalui TikTok berdurasi satu menit, atau melalui air mata yang tumpah di malam hari  karena tryout yang gagal.



Saat hari ujian tiba, wajah-wajah tegang terlihat di gerbang lokasi tes. Beberapa mendengarkan musik melalui earphone untuk menenangkan diri, ada juga yang pusing mencari ruangan ujian, dan yang lainnya tampak berkenalan satu sama lain. Di balik itu semua, ada ribuan kisah tentang perjuangan yang luar biasa.

Scroll TikTok, belajar, panik, itulah perjalanan yang mewarnai perjuangan UTBK Generasi Z. Sebuah babak kehidupan yang penuh warna dan tantangan, yang kelak akan dikenang sebagai bagian penting dari perjalanan meraih mimpi. Mereka tak hanya diuji oleh soal-soal pilihan ganda, tetapi juga oleh kehidupan yang serba cepat dan dinamis. Dan dalam perjalanan itu, mereka tumbuh menjadi pribadi yang lebih tangguh, adaptif, dan kreatif.

UTBK bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari berbagai kemungkinan. Dan siapa tahu, dari layar ponsel yang tampak sepele itu, lahir ide-ide besar yang suatu hari akan mengubah dunia.



(ARTIKEL) Perempuan Perlawanan dari Tanah Rencong: Kisah Cut Nyak Dien Melawan Belanda

  Di ujung barat Nusantara, di tanah yang disebut Aceh Darussalam, berkobar perlawanan rakyat yang panjang dan penuh pengorbanan melawan kol...